Oleh
Keri Lestari
Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik Universitas Padjadjaran
Dalam proses formulasi obat terutama bentuk sediaan larutan, kelarutan zat aktif bahan obat merupakan faktor yang sangat penting. Ada 7 kategori bahan obat berdasarkan kelarutannya yaitu: sangat mudah larut; mudah larut; larut; agak sukar larut, sukar larut, sangat sukar larut, praktis tidak larut. Kelarutan suatu sediaan ini menjadi tantangan industri farmasi dalam memproduksi sediaan larutan atau yang dikenal juga dengan sediaan sirup.
Zat-zat yang memiliki sifat kelarutan dalam air yang kurang baik, dapat ditambahkan zat kosolven yang berfungsi untuk meningkatkan kelarutan zat aktif obat. Contoh zat kosolven ini antara lain Poly Ethylene Glycol (PEG), Prophylene Glycol (PG) atau Glycerin. Bahan–bahan ini membentuk kompleks dengan bahan obat sehingga menjadikan bahan yang sukar larut tadi menjadi mudah larut.
PEG dalam proses pembuatannya sangat erat dengan zat yang diduga menyebabkan gagal ginjal akut, yaitu Ethylene Glycol (EG) / Di Ethylene Glycol (DEG). Kedua bahan ini biasanya menjadi pencemar (kontaminan) dalam proses pembuatan PEG / PG dan Glycerin. Senyawa etilen glikol dan dietilen glikol tidak digunakan dalam formulasi obat, namun dimungkinkan keberadaannya dalam bentuk kontaminan pada bahan kosolven sediaan sirup dengan nilai toleransi: 0,1% pada gliserin dan propilen glikol dan 0,25 % pada polietilen glikol (Farmakope Indonesia, US pharmacopeia). Pada batas nilai toleransi tersebut tidak menimbulkan efek yang merugikan. EG dan DEG akan menimbulkan efek yang merugikan jika melebihi ambang batas nilai toleransi yang telah ditetapkan.
Gejala intoksikasi EG/DEG antara lain pusing, ataxia, gelisah, nystagmus, disorientasi, iritasi, sakit kepala, mengantuk, bicara cadel. Bahkan apabila terjadi keracunan parah dapat menyebabkan koma hingga kematian (ATSDR, 2014). Setelah tertelan ethylene glycol akan terserap dengan cepat di dalam tubuh (dalam 1-4 jam). Kurang dari 20% diekskresikan (dikeluarkan) tanpa melalui proses metabolisme, sebagian besar dimetabolisme dan berubah menjadi senyawa yang sangat toksik. Sementara itu DEG bersifat neurotoxin, hepatotoxin dan nephrotoxin. Gejala intoksikasi EG apabila tertelan menimbulkan gejala seperti nyeri perut, mual, muntah, diare, pusing ataupun kehilangan kesadaran.
Adapun proses intoksikasi EG/PEG dapat terbagi dalam 3 (tiga) tahap, yaitu:
Mekanisme EG dalam merusak ginjal yaitu disebabkan karena EG akan dimetabolisme di dalam hati menjadi asam glikolat. Jika menumpuk di dalam darah, mengakibatkan suasana darah menjadi asam (metabolic asidosis) yang akan menyebabkan mual dan sesak nafas. Selanjutnya Asam glikolat bereaksi dengan kalsium menjadi kalsium oksalat yang akan menyebabkan kerusakan sel ginjal, sehingga terjadi gangguan ginjal akut (Kraut et al., 2016).
Sementara itu mekanisme DEG dalam menyebabkan kerusakan ginjal adalah karena di dalam tubuh, DEG diubah menjadi 2-hydroxyethoxy-acetic acid (HEEA). HEEA menyebabkan destabilisasi membrane dan akumulasi intraseluler dari partikel osmotic aktif yang menyebabkan pergeseran transseluler sehingga menyebabkan nekrosis tubulus proksimal di ginjal (Gopalakhrisnan et al., 2016).
BPOM belum lama ini merilis obat sirup yang aman dari kontaminan EG/DEG pada sediaan yang tidak menggunakan Poli etilenglikol, propilen glikol, Gliserin/gliserol dan sorbitol sebagai kosolven untuk meningkatkan kelarutan zat aktifnya dalam air. Edaran BPOM ini dapat dijadikan acuan untuk pemilihan obat sirup yang aman. Sementara obat yang berbasis oil berbeda formulasinya dan kelarutan zat aktif obat dalam air berbeda dengan zat aktif obat dalam basis essential oil.